Sejarah Kain Sasirangan ( Batik dari Kalimantan Selatan )
Menurut Sahibul Hikayat atau cerita rakyat, di sekitar abad XII sampai XIV pada kerajaan Dipa kain sasirangan pertama kali di buat yaitu ketika Patih Lambung Mangkurat bertapa 40 hari 40 malam di atas lanting balarut banyu (di atas rakit mengikuti arus sungai). Menjelang akhir tapa nya, rakit Patih tiba di daerah Rantau kota Bagantung. Dilihatnya seonggok buih dan dari dalam buih terdengar suara seorang wanita, wanita itu adalah Putri Junjung Buih yang kelak menjadi Raja di Banua ini.
Tetapi ia baru muncul ke permukaan kalau syarat-syarat yang dimintanya dipenuhi, yaitu sebuah istana Batung yang diselesaikan dalam sehari dan kain dapat selesai sehari yang ditenun dan dicalap atau diwarnai oleh 40 orang putri dengan motif wadi/padiwaringin. Itulah kain calapan/sasirangan yang pertama kali dibuat dan sering disebut oleh masyarakat sebagai batik sandang yang disebut Kain Calapan yang kemudian dikenal dengan nama Kain Sasirangan.
Sejak saat itulah warga kerajaan
Negara Dipa tidak berani lagi menggunakan kain Langgundi/Sasirangan
karena takut kualat terhadap Putri Junjung Buih. Hal ini mengakibatkan
banyak pengrajin kain Langgundi yang tidak lagi membuatnya. Meskipun
demikian tidak semuanya berhenti membuat kain Langgundi ini. Masih ada
beberapa yang tetap membuatnya, namun tidak untuk dijadikan sebagai
pakaian sehari-hari melainkan untuk pengobatan bagi penyakit yang
bersifat magis.
Menurut
keyakinan masayarakat Banjar yang [kadang-kadang] masih dipengaruhi
oleh kepercayaan animisme dan dinamisme, maka banyak penyakit yang
disebabkan oleh gangguan makhluk halus dan kain Langgundi/Sasirangan
merupakan suatu media untuk penyembuhannya. Biasanya penyakit yang dapat
disembuhkan oleh kain Langgundi ini adalah penyakit pingitan, yaitu
penyakit yang berasal dari ulah para leluhur yang tinggal di alam roh.
Dalam kurun waktu tertentu akan ada anak, cucu, buyut, intah, ataupun
yang lain akan terkena penyakit pingitan ini dan untuk penyembuhannya
mereka harus mengenakan kain Langgundi. Sebagai media penyembuhan, kain
Langgundi bisa digunakan sebagai sarung, kemben, selendang, atau juga
ikat kepala (laung). Corak dan warna kain Langgundi sangatlah beragam,
karena setiap jenis penyakit pingitan memerlukan corak dan warna kain
Langgundi tertentu juga. Sejak digunakan menjadi media pengobatan, maka
kain Langgundi lebih dikenal dengan sebutan kain Sasirangan.
Kain Sasirangan Dengan Pewarana Alami Yang Digunakan Untuk Pengobatan
Selain
kain Langgundi, kain Sasirangan juga disebut dengan kain Pamintan
(permintaan) karena dibuat berdasaarkan permintaan. Sebelum adanya
pewarana sintetik, kain Sasirangan dulunya menggunakan pewarna alami
dari alam, misalnya dari pohon Karamunting, Mengkudu, Akar Kebuau,
Gambir, Pinang, dan lain sebagainya. Selain pewarna-pewarana alami
tersebut, kain Sasirangan biasanya juga menggunakan beberapa bahan dari
alam untuk memperkuat ketahanan warnanya, misalnya seperti jeruk nipis,
tawas, kapur, dan lain sebagainya.
Seiring
dengan perkembangan zaman, kain Sasirangan mulai kehilangan
kesakralannya. Setiap orang bisa saja menggunakan kain Sasirangan dalam
berbagai bentuk (baju, selendang, kerudung, dll) tanpa harus dibayangi
rasa cemas akan kualat terhadap leluhur. Bahkan sekarang ini kain
Sasirangan sudah banyak dijadikan sebagai pakaian seragam bagi
instansi-instansi atau sekolah-sekolah di Kalimantan Selatan pada
hari-hari tertentu. Akan tetapi ini sebenarnya juga merupakan suatu hal
yang baik, karena dengan demikian maka kain Sasirangan akan menjadi
lebih dikenal dan dengan sendirinya akan mengangakat nama Kalimantan
Selatan dimata dunia. Namun ada satu hal yang cukup menyedihkan bagi
masayarakat Kalsel khususnya, yaitu beberapa motif kain Sasirangan telah
dipatenkan oleh negara Jepang (mudah-mudan aset-aset yang lainnya tidak
lagi…). Meskipun demikian, jika orang menyebut kain Sasirangan, maka
sudah pastilah diidentikkan dengan Kalimantan Selatan, bukan yang lain.
Proses Pembuatan Kain Sasirangan
Pertama
menyirang kain, Kain dipotong secukupnya disesuaikan untuk keperluan
pakaian wanita atau pria. Kemudian kain digambar dengan motif-motif kain
adat, lantas disirang atau dijahit dengan tangan jarang-jarang/renggang
mengikuti motif. Kain yang telah dijahit, ditarik benang jahitannya
dengan tujuan untuk mengencangkan jahitannya, sehingga kain mengerut
dengan rapat dan kain sudah siap untuk masuk proses selanjutnya.
Kedua
penyiapan zat warna, Zat warna yang digunakan adalah zat warna untuk
membatik. Semua zat warna yang untuk membatik dapat digunakan untuk
pewarnaan kain sasirangan. Tapi zat warna yang sering digunakan saat
ini adalah zat warna naphtol dengan garamnya. Bahan lainnya sebagai
pembantu adalah soda api (NaOH), TRO/Sepritus, air panas yang mendidih.
Mula-mula zat warna diambil secukupnya, kemudian diencerkan/ dibuat
pasta dengan menambahkan TRO/Spirtus, lantas diaduk sampai semua
larut/melarut. Setelah zat melarut semua, kemudian ditambahkan beberapa
tetes soda api dan terakhir ditambahkan dengan air panas dan air dingin
sesuai dengan keperluan. Larutan harus bening/jernih. Untuk melarutkan
zat warna naphtol sudah dianggap selesai dan sudah dapat dipergunakan
untuk mewarnai kain sasirangan.
Untuk
membuat warna yang dikehendaki, maka zat warna naphtol harus
ditimbulkan/ dipeksasi dengan garamnya. Untuk melarutkan garamnya,
diambil sesuai dengan keperluan kemudian ditambahkan air panas sedikit
demi sedikit sambil diaduk-aduk kuat-kuat sehingga zat melarut semua dan
didapatkan larutan yang bening. Banyaknya larutan disesuaikan dengan
keperluan. Kedua larutan yaitu naphtol dan garam sudah dapat
dipergunakan untuk mewarnai kain sasirangan, yaitu dengan cara
pertama-tama mengoleskan/menyapukan zat warna naphtol pada kain yang
telah disirang yang kemudian disapukan lagi/dioleskan larutan garamnya
sehingga akan timbul warna pada kain sasirangan yang sudah diolesi
sesuai dengan warna yang diinginkan. Setelah seluruh kain diberi warna,
kain dicuci bersih-bersih sampai air cucian tidak berwarna lagi.
Kain
yang sudah bersih, kemudian dilepaskan jahitannya sehingga terlihat
motif-motif bekas jahitan diantara warna-warna yang ada pada kain
tersebut. Sampai disini proses pembuatan kain sasirangan telah selesai
dan dijemur salanjutnya diseterika dan siap untuk dipasarkan.
Arti Warna Sasisangan : 1. Kain sasirangan warna kuning merupakan tanda simbolik bahwa pemakainya sedang dalam proses mengobati penyakit kuning (bahasa Banjar kana wisa)
2. Kain sasirangan warna merah merupakan tanda simbolik bahwa pemakainya sedang dalam proses mengobati penyakit sakit kepala, dan sulit tidur (imsonia)
3. Kain sasirangan warna hijau merupakan tanda simbolik bahwa pemakainya sedang dalam proses mengobati penyakit lumpuh (stroke)
4. Kain sasirangan warna hitam merupakan tanda simbolik bahwa pemakainya sedang dalam proses mengobati penyakit demam dan kulit gatal-gatal
5. Kain sasirangan warna ungu merupakan tanda simbolik bahwa pemakainya sedang dalam proses mengobati penyakit sakit perut (diare, disentri, dan kolera)
6. Kain sasirangan warna coklat merupakan tanda simbolik bahwa pemakainya sedang dalam proses mengobati penyakit tekanan jiwa (stress)
Sumber:
http://banualima.blogspot.com/2010/02/sejarah-sasirangan.html
http://ozomonpunya.blogspot.com/2010/05/kain-khas-banjarmasin-kalimantan.html
http://portalbanjarmasin.com/kain-sasirangan-kerajinan-khas-daerah-kalimantan-selatan/
Ini adalah contoh kain sasirangan yang aku miliki. Sekedar diketahui aku sangat menyukai kain sasirangan, aku memakainya tidak hanya pergi ke acara resmi namun saat santaipun aku biasa menggunakan baju atau rok dari kain sasirangan.
Ini dompet HP terbuat dari perca Sasirangan
Hiasan dinding dari perca sasirangan
Alas meja
Sedangkan yang ini tas, namun karena aku belum tahu cara membuat tas homemade jadi beginilah bentuknya (agak aneh y)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar